Oleh: Dauri Aziz, aktivis dan penulis
Okara.id – Bulan Ramadhan merupakan momen yang paling dinanti oleh umat Islam di seluruh dunia. Bukan hanya karena kewajiban menjalankan ibadah puasa, tetapi juga karena keberkahannya yang begitu melimpah.
Pada bulan ini, umat Muslim diberikan kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki diri, serta meningkatkan kepedulian sosial. Setiap amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya, setiap doa memiliki peluang lebih besar untuk dikabulkan, dan setiap jiwa diingatkan kembali tentang esensi hidup yang sejati.
Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momentum refleksi dan perubahan. Ia hadir sebagai pengingat bahwa manusia memiliki potensi besar untuk menjadi lebih baik, lebih sabar, dan lebih peduli terhadap sesama.
Dalam kehidupan yang semakin cepat dan serba instan, bulan ini menjadi jeda bagi setiap individu untuk kembali pada makna sejati dari kehidupan: mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sayangnya, tantangan zaman modern yang diwarnai oleh teknologi digital sering kali membuat banyak orang, terutama generasi muda, terjebak dalam rutinitas yang mengurangi makna spiritual Ramadhan.
Keistimewaan bulan Ramadhan telah dijelaskan dalam banyak hadis dan ayat Al-Qur’an. Salah satu hadis Rasulullah saw. menyebutkan: “Sesungguhnya telah datang kepadamu bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan kamu berpuasa karena dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu syaithan-syaithan, serta akan dijumpai suatu malam yang nilainya lebih berharga dari seribu bulan.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan Baihaqi). Hal ini menunjukkan bahwa Ramadhan bukan sekadar bulan biasa, melainkan bulan di mana keberkahan melimpah dan kesempatan emas untuk memperbaiki diri terbuka lebar.
Allah juga menegaskan dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183). Dari ayat tersebut, terlihat bahwa tujuan utama puasa adalah membentuk pribadi yang bertakwa. Namun, dalam praktiknya, tidak semua orang benar-benar memahami makna puasa secara utuh. Ramadhan seharusnya menjadi sarana pembentukan karakter, bukan sekadar kewajiban yang dijalankan secara mekanis.
Generasi Z hidup di era digital yang penuh kemudahan. Dengan teknologi yang terus berkembang, mereka bisa mengakses ceramah agama, membaca Al-Qur’an, atau berdonasi hanya dengan sekali klik. Ini tentu menjadi nilai positif karena akses terhadap ilmu semakin mudah dan luas. Namun, di balik kemudahan tersebut, ada tantangan besar. Budaya eksistensi digital sering kali membuat ibadah kehilangan makna. Banyak anak muda yang ingin terlihat religius di media sosial, tetapi dalam kehidupan nyata, mereka masih terjebak dalam kebiasaan lama. Unggahan tentang ibadah Ramadhan menjadi tren, tetapi apakah benar-benar dijalankan dengan niat tulus?
Buka puasa bersama yang seharusnya menjadi momen silaturahmi sering kali berubah menjadi ajang pemotretan makanan dan outfit. Tilawah Al-Qur’an dilakukan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi demi mendapatkan validasi sosial. Fenomena ini bukan berarti generasi sekarang tidak peduli terhadap agama, melainkan bahwa mereka sering kali lebih terpengaruh oleh budaya pencitraan dibanding esensi ibadah itu sendiri.
Jika tidak diimbangi dengan kesadaran spiritual yang kuat, Ramadhan bisa berubah menjadi sekadar rutinitas tanpa makna. Maka, perlu ada upaya untuk mengarahkan generasi muda agar memahami bahwa ibadah bukan sekadar tampilan luar, tetapi harus menjadi proses mendalam untuk membentuk pribadi yang lebih baik.
Tidak ada manusia yang sempurna, dan setiap orang memiliki perjuangannya sendiri dalam menjalani ibadah. Tetapi, Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan yang datang dan pergi. Ia hadir sebagai pengingat bahwa setiap Muslim memiliki peluang untuk berubah, memperbaiki diri, dan menjadikan kebaikan sebagai bagian dari kehidupan, bukan hanya selama sebulan, tetapi untuk selamanya.
Jika ibadah kita di bulan ini masih terasa sebatas formalitas, puasa tanpa pengendalian diri, tarawih tanpa pemahaman makna, atau tilawah hanya demi menggugurkan target, maka ini saatnya bertanya: Apakah Ramadhan benar-benar mengubah kita, atau hanya sekadar rutinitas yang harus dijalani?
Agar Ramadhan benar-benar menjadi titik balik, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan: Pertama. Menjadikan Media Sosial sebagai Sarana Kebaikan, Bukan Pencitraan. Ramadhan bukan tentang siapa yang paling sering mengunggah quotes islami, foto kajian, atau video tilawah di Instagram. Jika ingin benar-benar memanfaatkan teknologi, jadikan media sosial sebagai tempat berbagi inspirasi yang berdampak, bukan sekadar ajang pamer kesalehan. Berbagi ilmu, mengingatkan dalam kebaikan, dan menyebarkan semangat ibadah jauh lebih berarti daripada sekadar mencari validasi dari jumlah likes dan komentar.
Kedua. Menjadikan Puasa sebagai Latihan Karakter, Bukan Sekadar Menahan Lapar. Puasa sejati bukan hanya soal menghindari makan dan minum. Jika lisan masih menyakiti, amarah masih sulit dikendalikan, dan kebiasaan buruk tetap dilakukan, maka puasa kita baru sebatas fisik, belum menyentuh hati. Ramadhan seharusnya menjadi latihan pengendalian diri yang berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya.
Ketiga. Memastikan Ramadhan Tidak Berakhir di Malam Takbiran. Sering kali, semangat ibadah yang membara di awal Ramadhan perlahan meredup, lalu benar-benar hilang setelah gema takbir berkumandang. Padahal, tujuan utama Ramadhan bukan hanya meningkatkan ibadah selama 30 hari, tetapi membentuk kebiasaan baru yang terus dipertahankan. Jika setelah Ramadhan kita tetap kembali ke pola lama, shalat bolong-bolong, Al-Qur’an kembali berdebu, dan kepedulian terhadap sesama hilang, maka kita harus bertanya: Apakah kita benar-benar memahami esensi Ramadhan?
Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, bukan pula sekadar serangkaian ritual yang berlalu begitu saja. Ia adalah perjalanan spiritual yang mengajarkan kita arti ketulusan, kesabaran, dan kebersihan hati. Jika setelah Ramadhan kita tetap sama, mungkin kita hanya merayakannya, bukan menjalaninya.
Kesuksesan Ramadhan tidak diukur dari seberapa banyak kita beribadah, tetapi seberapa besar perubahan yang terjadi dalam diri kita. Apakah kita menjadi lebih sabar? Lebih peduli? Lebih ikhlas? Semua ini adalah indikator yang harus kita renungkan. Jika setelah Ramadhan hati kita tetap keras, perilaku kita tetap buruk, dan kita masih terjebak dalam kebiasaan negatif, maka kita perlu kembali mengevaluasi diri.
Jangan biarkan Ramadhan hanya menjadi momen yang singkat tanpa bekas. Jadikan ia sebagai titik balik, sebagai cahaya yang terus menyala, menerangi langkah-langkah kita bahkan setelah bulan suci ini berlalu. Sebab sejatinya, bukan Ramadhan yang mengubah kita, tetapi bagaimana kita memilih untuk berubah karenanya. (*)