Perasaan ini tak asing. 8 tahun masih sama. Setiap kali aku akan menemuimu, ada debar yang tak bisa dijelaskan. Semuanya tampak seperti angin malam yang riuh, namun sangat menenangkan.

Bagaimana tidak? Paras cantikmu tak bisa kuanalogikan dengan apa-apa. Kedewasaan, cerdas, perangai yang menyenangkan. Tapi lebih dari itu, aku sebenarnya tak punya alasan mutlak, aku mencintaimu dengan perasaan yang tiba-tiba, tanpa didahului alasan kenapa dan mengapa.

Setiap perjumpaan, aku menatap matamu lebih dalam. Aku hanya berupaya memulangkan rindu-rindu ini, lalu menjemputnya kembali ketika kita pamit untuk pulang ke rumah masing-masing.

Menatap matamu juga melemparku pada kesan pertama saat aku mengenalmu, di depan kantor Kaprodi Perbandingan Madzhab, aku menunggu hasil revisi proposal skripsi, lalu kau muncul dari balik pintu ruangan, membawa berkas-berkas jurnal di tanganmu. langkahmu tenang, sapaan darimu cukup memberi terang atas keadaan mencekam itu. Kau memang cukup dikenal oleh mahasiswa se-Fakultas. Semua mengagumi tulisan-tulisanmu. Tapi, bagiku saat itu, kau lebih dari sekadar terkenal. Segala definisi tentang ‘tenang’ berubah wujud; menjadi kamu.

Malam itu, degup dada tak seperti biasanya, segalanya tentang namamu. Apa yang kurasakan sore tadi di depan ruangan Kaprodi kusadari adalah benih-benih perasaan. Aku lekas membuka Instagram dan menghubungimu melalui DM, sebab sebelumnya kita memang belum pernah bertukar kontak WhatsApp.

Sebelum itu, aku meluangkan waktu untuk stalk postinganmu. Beranda Instagram-mu mungkin tak se-estetik postingan mahasiswi tongkrongan yag dipenuhi tempat-tempat mewah dengan caption kutipan yang diambil dari tokoh atau penulis. Berandamu penuh dengan foto kitab, foto buku, dan screenshoot-an isu-isu kontemporer. Jarang ada foto selfie. Tapi semuanya tersusun secara rapi dan tematis.

Salah satu yang membuatku tak bisa berpaling; adalah ketika kau memposting tangkapan layar tentang seorang tokoh kontemporer yang menyebut bahwa perempuan tidak bisa dijadikan hakim sebab keterbatasan nalar dalam penyelesaian perkara publik. Dengan kritis kau menulis caption di bawahnya:

“Pendapat ini ditulis tanpa ada kehati-hatian metodologis. Sejarah mencatat bahwa Fatimah binti Qais mengeluarkan fatwa yang kemudian banyak dirujuk oleh sahabat. Dan itu bukan perkara kecil. Saya sependapat dengan Ibn Hazm; bahwa keadilan tak bisa ditakar dari jenis kelamin, tapi sebab ilmu dan kejujuran.”

Postingan itu menggambarkan nalar yang mengalir. Kau tak seperti menyerang, tapi cukup menohok. Aku pun semakin menyadari, bahwa kamu adalah perempuan yang berani berdiri di tengah arus konservatisme. Dengan dalil dan adab sebagai senjatanya.

Kuawali pembicaraan dengan basa-basi konsultasi. Alasan formalnya adalah Kaprodi memang menyarankanku untuk memilih salah satu nama mahasiswa atau mahasiswi terbaik agar kupilih sebagai konsultan. Dan, aku memilihmu tanpa pikir panjang.

Setelah dua puluh tujuh menit pesan itu terkirim, kau membalas; “Waalaikumsalam, iya Mas. Monggo jika kamu mempercayaiku untuk jadi partner konsultasi. Dengan senang hati,”. Ya, mungkin balasanmu itu hanyalah formalitas atau bahkan template yang juga digunakan untuk membalas pesan mahasiswa lain yang juga ingin konsultasi. Tapi, itu sudah cukup membuatku tak bisa tidur.

***

Senin itu, kampus lebih ramai dari biasanya. Ada beberapa acara yang digelar dalam satu hari, seperti di aula perpustakaan yang digelar acara selamatan Harlah Organisasi Mastapala, di halaman gedung A digelar bazar buku, di Fakultas Bahasa digelar seminar nasional, dan di Aula utama digelar ICONIS: tempat para akademisi mempresentasikan hasil penelitiannya, dan kau termasuk di antara akademisi itu.

Aku menunggu di luar aula, setelah sebelumnya kita janjian pukul 11:30 untuk membahas kelanjutan proposal di kantin Pak Aleh. Kau memilih tempat itu karena menurutmu nasi pecelnya paling enak. Sementara menunggu, aku baca-baca tulisanmu di koran dan media online. Saat ini aku terbiasa mengisi waktu luang dengan membaca semua tentangmu, termasuk pemikiran-pemikiran yang kau tuangkan pada tulisan.

Empat tulisan kubaca khatam, di antaranya adalah tulisan dengan judul; Tuhan tak Pernah Takluk oleh Madzhab. Judul yang menurutku menggugah, tulisan yang menekankan bahwa agama lebih besar dari madzhab-madzhab manusia.

Belum selesai membaca tulisan berikutnya, kamu menyapaku ramah dari pintu aula.

“Maaf mas, kamu nunggu lumayan lama,” (ekspresimu senyum tapi merasa bersalah)

“Nggak kok. Santai. Gimana tadi, lancar?”

“Alhamdulillah dilancarkan,”

Di tanganmu, ada laptop dan sebuah buket bunga, entah dari siapa. Yang pasti, aku merasakan cemburu. Padahal, saat itu, kita baru beberapa hari saling kenal. Aku berusaha menghiraukan perasaan itu, sambil menyadari bahwa aku bukan siapa-siapamu.

Kita pun bergegas ke kantin pak Aleh. Aku menawarkan diri untuk membawakan laptopmu, tapi kau tolak karena kau lihat aku juga sedang membawa banyak barang bawaan; berkas proposal, laptop, dan buku-buku yang baru saja kubeli dari bazar.

***

Beberapa bulan kita sudah melewati waktu bersama. Dari percakapan-percakapan tentang proposal skripsi dan pertemuan-pertemuan yang membahas mengenai metodologi, kita mulai lebih ngobrol dengan lepas tanpa rasa canggung. Pembicaraan kita lambat laun beragam: tentang buku atau kitab favoritmu, tentang lagu-lagu Panji Sakti yang menurutmu menenangkan dan interpretatif, tentang puisi-puisi, sampai pada pembahasan sereceh sekte makan mie pakai nasi.

Aku juga lebih mengenal dirimu. Ternyata kau tak hanya cerdas, namun juga bisa mengimbangi lawan bicara. Meski terkenal memiliki pandangan kritis, kau membuat obrolan tanpa kaku sama sekali. Tenang, terukur, dan mengalir hangat.

Kau tahu caranya mendengar. Tahu juga kapan harus menanggapi. Kadang tentang teori rumit, kadang juga tentang cerita konyolmu yang pernah menghiraukan penjelasan dosen karena terlalu fokus melihat cicak kawin di dinding. Dan entah kenapa, semuanya terasa cocok. Bahkan ketika pembahasan kita melenceng dari ta’lil al-ahkam ke selera makan mie pakai nasi, semuanya terasa menyenangkan.

Hingga pada sebuah malam, di belakang suara teleponmu lagu Tafsir Cinta dari Mas Panji kudengar lirih, namun satu yang pasti; suaramu menyentuh bagian hatiku paling dalam. Saat itu juga, aku mengupayakan keberanian dan berkata; “Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku harus menyampaikan, bahwa perasaan ini sudah melebihi dari rasa kagum. Aku ingin melamarmu, Daifatul Habibah”. Senyap, kau terdiam, hanya lagu-lagu yang kudengar hampir selesai. Kau matikan telepon. Tanpa aba-aba.

Aku retak, duniaku suram seketika. Candaan berubah keheningan. Telepon yang kau tutup kupahami sebagai penolakan. Badanku lebur di atas kasur bersama berkas-berkas proposal, aku lupa segalanya, kekacauan itu membawaku pada kantuk yang luar biasa dan tanpa sengaja aku tertidur.

Pagi buta, aku terbangun masih dengan perasaan hancur. Namun, suasana sangit malam itu berubah menjadi suasana yang tak terduga, sebuah pesan masuk ke ponselku;

“Mas, Khatib Al-Husein. Aku, Daifatul Habibah adalah wanita yang menunggu ucapan itu sejak lama darimu. Kita memiliki perasaan yang sama. Namun, aku tak ingin mengganggu fokus proposalmu dengan perasaan egois ini. Malam ini, ucapan itu kudengar secara langsung. Aku tak bisa berkata-kata. Dunia seakan berhenti, bibirku getir. Degup dadaku lebih cepat dari jarum jam. Maka dari itu, kupersilakan kau temui kedua orangtuaku, akan kuterima lamaranmu,”

Duarrr, badanku gemetar. Seakan surga diberikan cuma-cuma. Lidahku kelu, wanita yang sering kuceritakan pada bapak ibu ternyata juga memiliki perasaan yang sama.

Hingga pada akhirnya, kita bertukar cincin dalam acara yang sejuk dan mendebarkan. Aku melihatmu mengenakan kebaya, dibalut sampir batik Madura, wajahmu tampak natural tanpa bedak tebal. Rasanya, aku ingin meminangmu saat itu juga. Tapi katamu, kau ingin menyelesaikan studi dulu. Jadi, mau tidak mau, aku harus bersabar. Yang penting, kamu telah kuikat dalam pertunangan.

***

Setelah cincin melingkar di jarimu, aku masih dengan ketulusan yang sama. Bahkan lebih besar. Kita lebih sering bertemu. Setiap itu juga, aku merasakan cinta yang lebih indah dari sebelumnya.

“Kamu, tahu…” saat itu di kantin pak Aleh aku mengawali pembicaraan, “ternyata, yang membuat Qais gila bukan karena kepergian Laila,”

“Lalu?”

“Tapi karena cinta di hatinya,”

“Terus?” Tanyamu mengernyitkan dahi sambil melempar senyum tipis, aku menduga, kau berharap jawaban romantis.

“Qais bisa sembuh dari luka itu kalau dia berhenti mencintai,” timpalku dengan tertawa mengejek.

“Kau mau berhenti mencintaiku?”

“Nah itu. Aku belum selesai ngomong. Kegilaan Qais juga disebabkan ketidak-mampuannya meniadakan cintanya pada Laila, mereka sudah menyatu, seperti aku yang mungkin juga akan seperti Qais kalau Laila-ku pergi meninggalkan,”

Kau kembali melempar senyum tipis. Kali ini, senyum itu benar-benar hidup. Sekali lagi, aku ingin segera kita menyatu dalam rumah yang sama, tanpa memikirkan untuk memulang-kembalikan rindu pada masing-masing perasaan.

‘Kling’

Notifikasi WhatsApp berbunyi: ada pesan suara masuk: “Mas, jangan lupa pulangnya bawa gas di toko Bu Minah,” chat dari Tari, istriku. Aku lekas melanjutkan surat Yasin dan doa-doa, menghela napas panjang dan memandangi makam yang tulisannya mulai pudar: ‘Daifatul Habibah binti Sulaiman’

Aku merapikan bunga-bunga yang berserakan diterpa angin. Menyeka air mata yang tumpah berkali-kali. Memandangi kembali cincin pertunangan kita, yang kupasang 7 bulan sebelum penyakit Aneurisma otak merenggutmu dariku.

“Aku pulang dulu ya,” aku mencium nisanmu dengan tangis yang sunyi. Beranjak pergi dengan perasaan berat, sama seperti delapan tahun yang lalu. (**)

*Aqil Husein Almanuri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *