oleh: Umar Faruq Sumandar
Okara.id – Sebelum memulai pemaparan, ijinkan saya ajukan disklaim. Tidak mudah bagi saya untuk membicarakan ilmu, khazanah, isu, dan persoalan yang berkaitan dengan agama, lebih-lebih agama islam. Bukan karena itu semua, tentu saja, dapat menyeret pikiran pada tema yang dalam, berat, dan gawat. Tapi lebih karena secara kapasitas pikiran dan perilaku individual pembicaraan ini berada di luar jangkauan saya.
Ya, selama ini saya lebih suntuk, meski juga dengan capaian tak kunjung membanggakan, dengan kegelisahan pikiran di seputar seni dan penulisan fiksi, wabilkhusus puisi. Sepak terjang saya di wilayah inipun sebenarnya belum tegas-jelas betul langgam warnanya. Namun sebagai manusia dan menjadi bagian dari umat Kanjeng Nabi Muhammad, seperti juga kalian, saya tak bisa lari dari rasa tanggung jawab dan kewajiban, dari etos pembelajar dan latihan, maka saya tak bisa mengelak lagi dari todongan sebagian teman agar menjadi salah satu pemantik pembicaraan di seputar tema ini dalam suatu program rintisan, bertajuk pesantren dan lingkungan dalam rentetan acara tahunan, haflatul imtihan salah satu pondok pesantren.
Apalagi di tengah keberagama-islaman kita, di Indonesia dalam konteks ini, yang memang sudah dan sedang menanggung seabrek persoalan dan bergudang tantangan “mengasyikkan” tak sepele dewasa ini. Salah satu tantangan dimaksud adalah bagaimana nilai dan ajaran tauhid dan dinul-islam dapat kita sadar-hayati dan amalkan di dalam setiap zikir dan tindakan kehidupan kita sebagai religiusitas dan wujud penghambaan atau ibadah kepada Allah dalam hubungan timbalbalik dan ko-relasional dengan ciptaan-ciptaan yang lain di dunia.Untuk itu mari kita mulai saja pelan-pelan apa-apa yang bisa kita ambil-perankan. Akan saya awali pemaparan singkat ini dengan satu ayat yakni ayat ke-2 dalam surat Al-Fatihah yang merupakan salah satu rukun sahnya sholat bagi kita kaum muslim.
Dengan keinsafan akan banyaknya keterbatasan diri dalam ilmu al-qur’an, sebagai umat yang berakal dan bertadabbur, izinkan saya melakukan satu pembacaan kontekstual sekadarnya atas ayat 2 surat al-fatihah lalu kemudian akan saya kutip sebagian tafsir yang mencerahkan saya pribadi dari Fakhruddin Al-Razi, penulis kitab Mafatihul Ghaib/Tafsir Ar-Razi* atas ayat ini, dengan niatan belajar dan berharap ridhaNya semata.
لْحَمْدُ لِلَّٰهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَI
Alhamdulillahirobbil alamin.
Artinya: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Membaca ayat ini, saya termasuk orang yang menemukan pemahaman bahwa terdapat tiga unsur kunci yang menjadi dasar hubungan atau koo-relasi sepanjang keberadaan kehidupan di dunia. Yakni relasi antara manusia, Tuhan, dan alam. Di sini tuhan mengajarkan semua makhluknya agar memuji dan bersyukur kepada-Nya. Sebab hanya dialah yang layak dipuji dan disyukuri. Demikian, di dalam frase alhamdu (segala puji) itu saya kira terdapat kemungkinan akan beraneka macamnya peluang, bentuk, dan ekspresi untuk pujian dan syukur yang disebabkan oleh beraneka macamnya pula makhluk ciptaan di bumi ini berikut kadar dan kodratnya atas kuasa dan kehendak-Nya.
Sampai di sini kemudian ditemukan pemaknaan selanjutnya yaitu, bahwa islam dengan piranti shalat mengajarkan kalau semua ciptaan di semesta ini adalah subjek setara yang punya kehendak aktif untuk memuji dan bersyukur dengan segala bentuk dan ekspresinya, dan sekali-kali bukan objek. Sementara secara lebih radikal, Ar-Razi dalam kitabnya menafsirkan bahwa semua ciptaan, semua yang selain Allah adalah alamin, temasuk manusia.
Tafsir ini memproyeksikan bahwa tidak tepat paradigma dikotomis, sumber daya alam versus sumber daya manusia yang sayangnya, dilolohkan oleh positif deveplomentalisme yang kapitalistik dan pada gilirannya mendominasi kesadaran kebanyakan umat manusia selamai ini. Sehingga sebagai benda yang kategorinya sumber daya, baik alam mauipun manusia dapat dilukai, dikeruk dan eksploitasi, dimanfaatkan semau-maunya, sesuka-sukanya oleh segolongan orang yang kuat, kuasa, lagi serakah. Sementara implikasi dari paradigma kesataraan subjek aktif sebagaimana tafsir di atas ialah pembebasan, kesatuan, dan ketauhidan dalam memuji, bersyukur, dan menyembah Allah dari atas bumi tercinta kita ini.
Sebagai wawasan tambahan, kiranya tak mengapa saya sertakan di sini untuk direfleksikan dalam kesadaran kita sehari-hari konsep relasi trilogi dalam ayat di atas juga dalam beberapa panduan keislaman lainnya dengan konsep trilogi dari satu-dua agama dan kepercayaan di luar islam di Indonesia. Satu semangat dengan tafsir ayat di atas, dalam kaidah fiqh islam ada dikenal konsep hablumminannas, hablumminallah, dan hablumminalalam. Hubungan antar manusia, hubungan kepada Allah, dan hubungan dengan alam. Juga, bahkan dalam metode riyadhah spiritual islam, ada seorang wali mursyid mengajarkan agar kita membagi tiga bagian dari 24 jam waktu seharmal.
Delapan jam untuk kedirian, delapan jam untuk ketuhanan, delapan jam untuk kehidupan. Sementara di dalam kosmologi agama hindu-bali, diajarkan juga konsep trilogi yang dijabarkan dalam tri hita karana. Yakni tiga hubungan, antar manusia, alam, dan Tuhan. Hal itu termanifes juga dalam ilmu panduan pendirian bangunan atau arsitektural Bali yang kemudian dikenal dengan asta kosala kosali. Dalam arsitektur hunian pada banyak suku nusantara, seperti suku Kajang dan Toraja di Sulawesi, suku Batak Toba, suku Sumba, suku Samin di Jawa, suku Baduy di Banten, suku Naga di Tasikmalaya, dan suku-suku lainnya juga berlaku konsep trilogi demi menjamin keberlangsungan kehidupan yang seimbang. Contoh-contoh ini sudah sangat cukup sebagai kekayaan warisan ilmu dan budaya bahkan politik yang bisa direvitalisasi untuk kemudian diaktualisasikan dalam perilaku dan strategi kehidupan kita ke depan.
Namun kenyataan selalu jauh dari impian, entah kenapa. Sebagaimana sabda dan ayat kerap jauh panggang dari api. Contoh paling dekat di sekitar, ya Sumenep kita, kabupaten ujung timur Madura ini. Sebagaimana tercermin dalam bait salah satu puisi saya berjudul Di Depan Mesjid Jamik, daratan dan lautan makin rawan, eksploitasi alam nyatanya makin marak saja dilangsungkan. Sampah berceceran di banyak sudut dan tepi jalan yang kita lalui. Belum terdengar juga upaya serius menanganinya. Galian C di beberapa kecamatan terus berlangsung lancar jaya tanpa harus izin operasional mereka kantongi. Kabar tutur yang saya sempat terima, ketika salah satu komisi DPR-D mengupayakan pengajuan penindakan hukum kepada APH setempat, malah ketua DPRD-nya yang merupakan anggota partai berkuasa tak mau menandatangani surat pengajuan keputusan bersama itu. Tahun lalu, perda RTRW yang setelah kita dapat melalui orang tertentu dan baca bersama, dalam pasal-pasalnya ternyata mengandung kejanggalan dan keseluruhan isinya seperti copy paste saja dari perda RTRW sebelumnya, yang berlaku hingga berpuluh tahun ke depan, disahkan DPR dan pemerintah secara senyap tanpa sosialisasi memadai terlebih dahulu. Tambak udang di banyak titik di pantura yang mencemari pantai (beberapa di antaranya merupakan pantai wisata sejak lama) juga laut dan menjadi sumber konflik horisontal antar warga tak juga diapa-apakan. Yang sempat viral secara nasional, rencana reklamasi pantai Gersik Putih di kampung Tapa Kerbuy, desa Gerse’ Pote, kecamatan Gappora yang menyerobot pantai tempat warga mencari nafkah sebagai petani sekaligus nelayan sampai detik ini pun belum ada tanda-tanda penanganan berarti. Malah ada sebersit kekhawatiran, konflik reklamasi di sana pada sisi jalan yang lain, bisa jatuh menjadi gimmick politik terutama oleh partai yang sedang berkuasa. Semoga saja tidak. Bukankah seturut makna ayat.
Alhamdulillahirobbilalamin dan pesan dari perintah shalat, juga definisi mukminin dan makna ketauhidan, kita dan semua ciptaan ini adalah satu kesatuan. Jika sebagian unsur alam dirusak dan sakit maka kita manusia sudah terekploitasi, rusak dan sakit juga?!
Demikianlah semacam pembacaan kontekstual, kutipan tafsir dan beberapa contoh yang dapat saya bagikan sekadar. Semoga kita semua senantiasa sehat waras dan dikaruniai rahmat untuk tak jemu mawas berlatih diri agar tak abai mentadabburi, mentafakkuri, mensyukuri, merefleksikan, dan berjuang menggerakkan kemaslahatan di, dan, pada segenap isi bumi ini. Akan saya tutup tulisan ini dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30, yang menurut pandangan Al-Habib Prof. Dr. K.H. Said Agil Husin Al-Munawwar, MA bukanlah protes dari malaikat kepada Tuhan seperti dipahami sebagian umat selama ini, melainkan merupakan pengungkapan hakikat dari karakter keberadaan manusia, makhluk Tuhan yang baru diciptakan itu. Manusia sebagai khalifah/wakil Tuhan di bumi secara bertentangan kerap menjadi pemicu kerusakan. Sedang malaikat yang patuh pada ketentuan Allah sepanjang masa tak masuk akal akan bergawat-gawat melakukan protes kepada Tuhannya:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٣٠
wa idz qâla rabbuka lil-malâ’ikati innî jâ‘ilun fil-ardli khalîfah, qâlû a taj‘alu fîhâ may yufsidu fîhâ wa yasfikud-dimâ’, wa naḫnu nusabbiḫu biḫamdika wa nuqaddisu lak, qâla innî a‘lamu mâ lâ ta‘lamûn.
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (**)
*Kalau tidak ada kendala makalah pendek ini saya bawakan sebagai materi pengantar diskusi dalam acara Pesantren Lingkungan kerjasama FNKSDA Sumenep dengan PP. NASA, bersama remaja siswa dan santri di PP. Nasyatul Mutaalimin, Gapura, Sumenep.
*Tafsir Ar-razi ini saya baca di dalam makalah Ustadz Asep Nahrul Musada,S.Th.I.,M.Ag.berjudul Mengeja Tafsir QS. Al-Fatihah ayat 2 Bersama Al-Razi Terkait dengan Alam.