Oleh: Ach Toifur Aliwafa, jurnalis Nusa Insider
Okara.id – Industri rokok di Kabupaten Sumenep belakangan ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif. Maraknya pelanggaran, konflik internal, hingga minimnya solidaritas antar pengusaha menjadi tantangan serius yang mengancam keberlangsungan perusahaan rokok (PR) lokal.
Di tengah badai tersebut, muncul kekhawatiran bahwa iklim usaha rokok di Sumenep tidak akan pernah damai jika konflik dibiarkan terus berlarut. Minimnya rasa kebersamaan dan empati antar pengusaha menjadi biang kerok yang tak bisa dianggap sepele.
Fenomena bocornya informasi bisnis antar pengusaha menjadi bukti nyata lemahnya rasa saling menjaga. Pengusaha ‘A’ membocorkan strategi atau kelemahan pengusaha ‘B’, dan begitu seterusnya. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap semangat kolektif yang seharusnya dibangun dalam satu wadah.
Paguyuban yang lahir sebagai upaya menyatukan pengusaha rokok justru terlihat rapuh. Tanpa fondasi kebersamaan dan kepercayaan, wadah ini kehilangan ruh perjuangan. Padahal, keberadaan paguyuban seharusnya menjadi rumah bersama untuk saling menopang dalam menghadapi tekanan regulasi, persaingan, maupun stigma sosial.
Sebagaimana pepatah bijak, “Jika satu pengusaha merasakan sakit, maka pengusaha lain harus menjadi penawar.” Nilai itu seharusnya menjadi roh utama dalam paguyuban. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—saling menuding, saling menjatuhkan, bahkan enggan membantu sesama anggota saat mengalami kesulitan.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Tanpa solidaritas, pengusaha rokok lokal akan menjadi mangsa empuk bagi pihak luar yang ingin memanfaatkan konflik internal ini untuk kepentingan tertentu, termasuk upaya penghilangan eksistensi perusahaan kecil-menengah.
Dalam konteks ini, Ketua Paguyuban memiliki tanggung jawab moral yang besar. Ia bukan hanya simbol formal, tapi juga harus menjadi motor penggerak kebersamaan, penengah konflik, sekaligus penjaga marwah organisasi. Ketegasan dan kerendahan hati adalah dua karakter yang mutlak harus dimiliki.
Ketua Paguyuban tidak boleh larut dalam urusan teknis yang justru menjauhkan dirinya dari substansi kepemimpinan. Ia perlu menjadi sosok yang bisa menempatkan diri di atas segala kepentingan pribadi dan kelompok. Jangan sampai keputusan strategis justru diambil berdasarkan bisikan segelintir pihak yang tidak memahami realitas di lapangan.
Ketika ada anggota yang mengalami masalah, maka sudah menjadi tanggung jawab paguyuban untuk memberikan pendampingan dan perlindungan. Jika dibiarkan berlarut, ketimpangan solidaritas ini hanya akan mempercepat runtuhnya kepercayaan antar anggota.
Lebih dari itu, jika kebersamaan gagal dirawat, maka paguyuban hanya tinggal nama. Cepat atau lambat, paguyuban bisa mati perlahan dan akhirnya bubar. Ini tentu menjadi kerugian besar bagi semua pihak, bukan hanya anggota, tapi juga ekosistem industri rokok di Sumenep secara keseluruhan.
Penting bagi Ketua Paguyuban untuk mulai melakukan pembenahan dari dalam. Susun ulang prioritas, ajak seluruh elemen yang benar-benar paham akan medan dan tantangan di lapangan. Jangan mengandalkan mereka yang hanya pandai bicara namun nihil kontribusi nyata.
Kebersamaan tidak bisa dibentuk dengan imbauan kosong. Diperlukan langkah konkret, mulai dari pembentukan sistem komunikasi internal yang transparan, hingga penguatan nilai-nilai kolektif seperti saling percaya dan saling bantu.
Sudah waktunya semua pengusaha rokok di Sumenep duduk bersama, membangun ulang komitmen kolektif. Tak ada gunanya saling menjatuhkan ketika ujungnya justru mematikan usaha sendiri. Tantangan dari luar sudah cukup besar, jangan ditambah dengan perpecahan dari dalam.
Industri rokok lokal, terlepas dari kontroversi yang menyertainya, telah memberikan kontribusi ekonomi yang tidak kecil bagi daerah. Menjaganya tetap hidup, berkembang, dan berintegritas adalah tanggung jawab bersama.
Dengan semangat persaudaraan dan solidaritas, bukan tidak mungkin paguyuban akan kembali menemukan rohnya. Tapi itu hanya akan terwujud jika seluruh pihak bersedia meletakkan ego dan mulai memikirkan masa depan bersama. (*)