Marsinah

anak-anak negeri para lelaki dengan seragam rapi ingin kembali ke rahimmu. anak-anak negeri para lelaki dengan rambut cepak meniru bapak tak tahu bagaimana kembali ke rahimmu.

zakar-zakar brutal yang ditegakkan sepi
diasah bersama pelor dan batang besi pada liang bumi.

berpuluh tahun anak-anak itu terus menyembunyikan tangisnya sendiri sampai kini karena ingin kembali ke rahimmu.

dan kau, segera pergi dari semua bau busuk di bumi ini. dari celah bintang-bintang malam sejuta peri di langit yang ilahi kau saksikan mereka terus menangis sampai pagi karena tak tahu bagaimana cara kembali ke rahimmu.

selangkang yang sobek panggul yang retak rahim yang koyak adalah penebusan bagi ibu, dan kutuk luka jadah bagi anak-anak negeri para lelaki.

Februari, 2024

Di Luar Museum Keraton
:Sumenep Sumekar

di hadapan tembok museum
menatap lumut kehitaman
bercak-bercak silam peradaban

di depan Labang Mésem*
senyum hambar kebesaran
menyambut masam pertanyaan

kita pernah bertukar kata
tapi di kota kecil ini
apa lagi kini kau cari

barangkali tak ada yang benar kembali
sebab tak terucap kata pergi
hanya masing-masing melangkah sendiri

dan beberapa depa di atas kepala
menggantung lampion tanpa nyala
sisa perayaan entah siapa punya

sedang beratus ribu kilometer di angkasa
bulan malas memainkan cahaya
bertemulah kesah di antara keduanya

di manapun selalu ada janji
tapi di kota kecil ini
mungkin kenangan akan padam perlahan

artefak waktu ditinggal detak mimpi
deret bangunan tua tak kuasa lari
dari terjangan kaki transisi juga ambisi

berapa banyak lagi yang mungkin
sanggup untuk diperebutkan
penjilat biru buram darah warisan

saat seribu mulut sibuk senyum
sambil diam-diam menyungging kutukan
terhadap sesama yang jadi korban

Januari, 2023

*Labang Mésem adalah penamaan untuk pintu masuk Museum Sumenep

Drama Ramaparasu

Semesta sedang redup cahaya
Dunia menjelma pentas angkara
Zaman yang kacau bergolak
Membuat bumi gelap dipijak

Mereka memanggilku Ramaparasu
Sebab sejak kanak kutenteng kapak
Lalu dengan panah kubunuh ibu
Sebab memenuhi perintah bapak

Bagaimanapun aturan harus tegak
Kemudian ibu dan saudara bebas balak
Sebagaimana prasyarat sebelumnya
Akan dikabulkan apapun kuminta

Setelah itu aku mengembara
Bersumpah mencari para ksatria
Di manapun mereka sembunyi
Tak terelak dari tetak dan mati

Telaga darah, ya, telaga darah
Telah kusiapkan sebagai sembah
Agar hidup berlanjut tanpa amarah
Karena ksatria bertikai saling jarah

Laut bergolak rusuh dan kisruh
Langitpun menyampaikan keluh
Saat gunung, dinding goa, rubuh
Juga jura dan kehormatan runtuh

Tapi selalu ada yang luput
Dari skenario janji dan kutuk
Sampai halus ajal menjemput
Dan menjelma kembali kelak

Orang mulai sibuk saling sapa
Lampu panggung sudah padam
Desah, tepuk dan elusan dada
Mengiringi peristiwa luar dalam

“Mari kalau mau geser, Pak
Teman-teman menunggu di pojokan”
Iya, sebentar dulu, nak
Kita nonton manusia, melanjutkan peran”

29 April, 2025

Sebentar Bersama Umbu Landu Paranggi Sebelum Pergi

sutradara dan pemeran senyum lega saling pandang
lampu, kursi, dan properti akan segera dibereskan

“ya, duduk dulu sebentar, kita nonton manusia!”

kemudian
kusimak kuda putih
meringkik panjang di langit letih
sebarisan kuda merah
menderas dalam upacara darah
kawanan kuda hitam
menjelejah ruang semesta malam

“O… lapisan sorgaloka, telah tergambar dalam motif tenun Sumba”

2024

Di Depan Mesjid Jamik Sumenep

penghujung malam
antara Mesjid Jamik
dan alun-alun kota
debu sampah jalan raya
dihempas laju angin
dari kendaraan lewat satu dua
pintu gapura terbuka

O…. arsitektur Arab-Tionghoa

dalam khusuk dibuai aliran tarhim
sesekali sukmaku iseng
gentayangan menyeberang
dari timur ke barat
dari barat ke timur
memeriksa impian dan harapan
sesekali kutoleh utara selatan
masa lalu juga masa depan

sebentar lagi pagi pecah
di perempatan

nenek tua penjual kacang
yang sedari tadi melungker
disiram sinar lampu taman
dengan tampah masih sarat isi
telah bangun mengusap muka
akan melangkah pelan
lalu hilang dalam remang
gang jalan samping kanan
mesjid kebanggaan

malam panjang akan usai
di lingkaran

aku melihat sosok dari masa silam
dengan kilau keringat di badan
tergesa berjalan dari selatan
sambil berseru dari tepian

“suara keramat yang menari ke altar langit
jangan biarkan anak cucu kami
tidur dalam nostalgia kebesaran
kiranya tutur mitos
telah menguapkan makna
menguapkan segala ke hampa ketinggian”

lalu halimun kelahiran
asap dari berabad usia mengaburkannya
sebagai sobekan-sobekan kenyataan
bertebaran di pojokan ladang-ladang kemarau
kubur leluhur teronggok sepi di situ

lalu parau kacau suara
dengan kuku-kuku lancang
mencakar-cakar udara

lalu tangan-tangan lamis
yang lihai mengundang keasingan tak dikenal
menghilangkan kemesraan ziarah
berganti rebak amis darah

O….. Panembahan Somala Natakusuma

bersama sumebar fajar
berduyun orang memasuki pintumu
bagaimana aku beranjak sekarang
bila kenyataan hari-hari mendatang
masih ditingkahi wajah kekuasaan
yang pongah menatah sabda
di tiap kusam daratan dan kepulauan
di mana bukit dan laut makin rawan

November 2017

*Umar Faruq Sumandar lahir di Sumenep, Madura. Menulis Puisi, Cerpen, dan lain-lain. Aktor berbakat ini kini tinggal di kampung halaman Dusun Pangsono’ Desa Billapora Rebba, Lenteng, Sumenep. Bekerja sebagai tukang pangkas rambut di kios Mambesak dan penjual jamu tradisional Madura khusus pria dan wanita dewasa. Baru-baru ini bersama Mat Toyu penulis puisi dan cerita berbahasa Madura masuk dalam jajaran pengurus sebagai salah satu anggota divisi riset di Lesbumi PCNU Sumenep.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *