Taneyan Terakhir di Ujung Waktu

Orang bilang, taneyan lanjang seperti tubuh. Rumah-rumah adalah organ, dan halaman luas itu nadinya. Tapi seperti tubuh tua yang mulai melemah, taneyan kami kini tinggal tulang dan suara angin.
Aku lahir di tengah-tengah tanah yang tak pernah berpagar itu. Di sana, tiap pagi bau kayu bakar bersahut-sahutan dengan suara ibu-ibu menumbuk bumbu, anak-anak berlari tanpa alas kaki, dan nenek-nenek menyiram tanaman dengan air dari tempayan tanah liat.
Semuanya terbuka. Tak ada pintu yang terkunci. Tak ada rahasia yang disembunyikan dari mata tetangga.
Tapi semua berubah sejak Rafi pulang dari Surabaya.
Ia keponakan tertua, anak dari paklikku yang dulu merantau dan jarang pulang. Waktu kecil, Rafi gemar main layangan bersamaku, memetik kelor, dan mandi di sumur belakang. Tapi sekarang, langkahnya kaku, dan matanya seperti menakar segala yang kumiliki.
“Kita perlu privasi, Pakde,” katanya sambil menunjuk ke arah dapur yang terbuka ke mana-mana. “Ini zaman baru.”
Beberapa bulan setelah kedatangannya, pagar semen dibangun di depan rumah paklik. Lalu langit-langitnya ditutup gypsum, jendela ditambah kaca riben. Tak lama, suara tawa dan canda dari sana lenyap. Tidak ada lagi bau gulai yang semerbak ke seluruh halaman. Rumah itu berubah menjadi kotak batu yang dingin dan sunyi.
Yang lain mulai mengikuti. Bu Uli mengecat rumahnya warna abu, lalu memasang kamera kecil di pojok. Mbak Rum memindahkan tungku ke dalam, dan tak lagi menggoreng tempe di pagi hari seperti dulu. Aku melihat satu demi satu rumah menutup wajahnya.
Dan taneyan… makin sempit. Makin asing.
Aku mencoba bicara pada Bapak.
“Taneyan ini akan mati, Pak,” ucapku sambil memandangi kelor yang mulai meranggas.
Bapak hanya menatap jauh ke timur, ke arah matahari yang mulai turun. “Yang mati bukan tanah ini, Le. Tapi kepercayaan.”
Sejak itu aku menjaga rumah ini sendirian. Halaman tetap terbuka. Dapur tetap berasap. Kalau ada tamu lewat, aku sapa. Kalau ada anak kecil nangis, aku angkat. Walau semua rumah sudah berpagar, aku tetap menanak nasi untuk dua piring lebih.
Suatu malam, Rafi datang. Tanpa mobil, tanpa ponsel di tangan.
“Taneyan ini terasa sepi, ya,” katanya. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara jangkrik. “Tapi juga terasa seperti pulang.”
Aku diam. Membiarkan kata-katanya menggantung di antara langit dan tanah.
“Kau masih tinggal di sini?” tanyanya.
“Karena aku belum selesai menjaga apa yang dulu pernah membuat kita bahagia.”
Rafi tertunduk. Tangannya meremas jemari. “Maukah kau buatkan kopi?”
Aku mengangguk. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, dapur ini kembali menyuguhkan sesuatu yang lebih dari sekadar minuman: harapan.
Dan malam itu, taneyan kami, meski sudah ditinggalkan banyak rumah dan ditelan zaman, hidup kembali. Bukan karena jumlah rumah yang terbuka. Tapi karena satu hati yang kembali percaya. (*)